BAB I
PENDAHULUAN
Tema keikutsertaan aktifis Islam baik dari kalangan ulama, du’at dan
pemikirnya- dalam pertarungan politik hingga kini masih saja menjadi tema yang
menarik dan hangat untuk dibicarakan. Dan itu dibuktikan dengan terjadinya
pro-kontra di kalangan mereka yang mengkaji dan mendiskusikannya. Dan polemik
ini jika diteliti lebih jauh bukanlah polemik yang baru kali ini terjadi, namun
sejak dahulu bahkan sejak berabad-abad lalu- tema keterlibatan para ulama dan
cendekiawan muslim secara politis dalam penyelenggaraan negara baik sebagai
eksekutif, legislatif ataupun yudikatif- selalu menjadi perdebatan yang hangat
dikaji. Dan siapa pun yang membaca literatur-literatur zaman itu akan menemukan
misalnya bagaimana sebagian ulama mengingatkan bahaya “mendekati pintu sultan”
atau bahkan menolak jabatan sebagai seorang qadhi. Meskipun tentu saja
perdebatan itu tidak dalam kapasitas memvonis haram-halalnya “profesi politis”
tersebut, namun hanya setakat menyoal boleh atau makruhnya hal tersebut tentu
saja kemakruhan ini karena dilandaskan sikap wara’ semata, tidak lebih dari
itu.
Sikap wara’ itu sendiri jika ditelisik lebih jauh nampaknya dilandasi
oleh dua hal: Pertama, tingkat resiko pertanggungjawaban yang sangat tinggi
yang terdapat dalam jabatan tersebut. Kedua, bahwa posisi yudikatif (qadha’)
secara khusus memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan posisi imamah kubra
(kepemimpinan tertinggi) yang dalam hal ini dipegang oleh para khalifah yang
memiliki kadar keadilan yang berbeda-beda satu sama lain. Dan sangat
disayangkan bahwa tabiat umum para khalifah itu pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun
justru lebih diwarnai oleh kefasikan; hal yang kemudian membuat banyak ulama
yang wara’ lebih memilih untuk menjauhi jabatan apapun yang akan mengaitkan
mereka dengan para khalifah itu. Alasannya tentu sangat jelas: rasa takut dan
khawatir jika terpaksa harus menyetujui dan melegitimasi kezhaliman mereka,
atau karena khawatir harta yang akan mereka peroleh dari jalur itu termasuk
harta yang tidak halal untuk mereka gunakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pemilu Menurut Islam
Sebagai langkah awal penyimpulan konsep atau pandangan Islam tentang
pemilu, maka menjadi sangat penting untuk memaparkan beberapa kaidah yang akan
menjadi landasan penyimpulan konsep tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul
al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlemaniyah, DR. Abdullah al-Thuraiqi
menyebutkan beberapa kaidah dimaksud, yaitu:
Pertama, bahwa Islam adalah suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dibagi-bagi, dan karena itu hukumnya saling kait mengkait satu dengan yang
lainnya. Antara yang bersifat ibadah dan mu’amalah terjadi hubungan saling
melebur satu dengan yang lain. Karena itu sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan
akarnya mengunjam ke dalam sisi aqidah dan akhlaq Islam. Dan ini adalah hal
yang tidak mungkin diragukan lagi.
Kedua, bahwa dalam Islam, kekuasaan yang bersifat umum (al-Walayah
al-‘Ammah), seperti khalifah, qadhi, menteri, gubernur, hisbah, dan yang
terkait dengannya; semuanya memiliki tabiat keagamaan atau kesyar’ian, meskipun
kemudian banyak terkait dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi,
seperti perhubungan, telekomunikasi, kesehatan, sumber daya manusia, dan yang
lainnya. Itulah sebabnya, para ulama saat mendefinisikan khilafah atau imamah
mengatakan:
“Ia adalah
sesuatu yang ditetapkan untuk mengganti posisi kenabian dalam menjaga agama dan
mengatur urusan dunia.”
Ibnu Taimiyah
mengatakan:
“Harus diketahui
bahwa penguasaan dan pengaturan urusan manusia adalah termasuk kewajiban agama
yang terbesar. Bahkan kehidupan agama dan dunia tidak dapat ditegakkan kecuali
dengannya. Maka menjadi wajib hukumnya untuk menjadikan kepemimpinan itu
sebagai (bagian dari pelaksanaan) agama dan ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah, sebab mendekatkan diri kepada-Nya dengan taat pada-Nya dan pada
Rasul-Nya adalah merupakan taqarrub yang paling utama.”
Ketiga, bahwa ketika kekuasaan itu berpindah ke tangan orang-orang yang
tidak memiliki keamanahan, maka hal itu sama sekali tidak mencabut nilai
kesyar’iannya. Mengapa? Karena nilai tersebut adalah nilai yang inheren dan
menyatu dengannya sehingga tidak mungkin dilepaskan.
Kekuasaan yudikatif (qadha’) misalnya –yang notabene merupakan kekuasaan
syar’i yang sangat mulia-, jika di sebagian negara Islam ia berubah peradilan
atas dasar undang-undang manusia dan dipegang oleh orang yang tidak memahami
Syariat Islam, maka kondisi ini sama sekali tidak mengubah nilai penting dan
kesyar’iannya. Karena itu, jika seorang muslim kemudian menjabat jabatan itu,
maka menjadi wajib baginya untuk memutuskan dengan landasan Syariat Islam. Dan
ia tidak dibenarkan melepaskan jabatan ini jika ia mampu memutuskan hukum
sesuai dengan wahyu Allah.
Keempat, bahwa para ulama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
umat Muhammad saw; yang muslim maupun yang kafir, dan secara khusus masyarakat
muslim; baik secara individu ataupun kelembagaan.
Dasar dari tanggung jawab ini adalah adanya kewajiban untuk menyampaikan
agama ini di pundak para ulama itu. Mereka adalah pemegang amanah dan pengganti
para rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Misi ini adalah misi yang mulia namun berat di saat yang sama, kecuali
bagi mereka yang rabbaniyyun. Allah berfirman:
“...akan
tetapi dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani dengan apa yang
kalian ajarkan dari al-Kitab dan apa yang kalian pelajari.” (Ali Imran: 79)
Imam al-Thabari menjelaskan makna rabbani dalam ayat ini dengan
mengatakan:
“Jika
demikian, para rabbaniyyun adalah sandaran manusia dalam pemahaman, ilmu dan
urusan agama serta dunia. Itulah sebabnya, Mujahid mengatakan: ‘Mereka berada
di atas para ahbar, karena para ahbar adalah ulama, sementara seorang rabbani
adalah orang yang mengumpulkan ilmu dan pemahaman, yang memahami politik
(siyasah), pengaturan, dan memenuhi urusan rakyatnya serta apa yang menjadi
mashlahat dunia dan agama mereka.’”
Kelima, bahwa hukum syar’i secara umum terbagi menjadi 2 macam:
1. Hukum yang
telah dijelaskan secara terperinci, seperti tauhid (aqidah), ibadah, fara’idh,
hukum seputar keluarga –seperti nikah dan talaq-, hudud, qishash dan diyatnya.
2. Hukum yang
masih bersifat umum. Yaitu hal-hal yang dijelaskan secara umum oleh Allah dan
Rasul-Nya, seperti mu’malah harta dan sistem tatanan sosial yang terkait dengan
politik, administrasi, pendidikan atau yang semacamnya.
Adapun jenis hukum pertama, maka ia adalah jenis hukum yang berlaku
secara konsisten dan tidak mungkin berubah (al-Tsawabit); baik yang ditetapkan
oleh nash ataupun ijma’. Dan dalam hal ni tidak ada perbedaan antara yang
qath’i ataupun zhanni. Perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa masalah
diantaranya –meskipun ada- namun sangat terbatas, dan tidak menjadi masalah
selama tidak menyebabkan perselisihan dan permusuhan.
Adapun untuk jenis hukum yang kedua, maka ia dapat berubah dan berkembang
mengikuti kondisi, tempat maupun waktu, selama tentu saja perubahan itu tidak
melanggar prinsip dan kaidah yang ada.
Keenam, bahwa sistem politik dalam Islam ada yang bersifat global
(mujmal) dan adapula yang bersifat terperinci (mufashshal), meskipun yang
mayoritas adalah yang pertama.
Salah satu contoh yang terperinci adalah penjelasan hak dan kewajiban
yang ditetapkan secara syar’i untuk sang pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk
juga objek atau bahan yang dijadikan landasan hukum oleh sang pemimpin. Untuk
yang satu ini,misalnya, Allah berfirman:
“Dan
hendaklah (engkau) memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah.........” (al-Maidah: 49)
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa wahyu adalah objek atau bahan yang
seharusnya dijadikan landasan hukum, meskipun ini tidak berarti keberadaan
aturan atau undang-undang yang bersifat adminstratif terlarang selama ia
diposisikan pada posisi yang tepat.
Adapun aturan politik yang bersifat global (mujmal) maka ia mencakup
aturan-aturan yang bersifat adminstratif dan yang terkait dengan metode
pelaksanaan yang merupakan bentuk penafsiran dan perincian dari prinsip-prinsip
besarnya, seperti: syura, bai’at, keadilan, dan lain sebagainya.
Ketujuh, bahwa kebanyakan aturan-aturan yang bersifat adminstratif itu
bersifat ijtihadiyah dan bukan tauqifiyah.
Ini tentu saja sangat logis, karena sistem yang bersifat administratif
tidak mungkin diberlakukan secara sama rata dengan satu model untuk semua
tempat. ia bisa saja berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu negara ke
negara yang lainnya.
Sistem adminstrasi pada masa Khulafa’urrasyidun misalnya berbeda dengan
sistem yang berlaku di zaman Nabi saw ataupun dengan era pemerintahan di masa
Umawiyah dan Abbasiyah.
Fakta sejarah misalnya menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khatthab
r.a. adalah orang pertama yang menerapkan konsep Dawawin (bentuk plural dari
Diwan), dan beliau juga bahkan meninggalkan beberapa kebijakan yang sebelumnya
dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Dengan demikian, maka aturan-aturan administratif Daulah Islamiyah yang
pernah ada sebelumnya dapat diambil apa yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan
sejalan dengan mashlahat. Adapun aturan yang tidak sesuai, maka tidak ada
masalah jika kita meninggalkan lalu mengadopsi sistem lain yang lebih
mashlahat.
Demikianlah beberapa kaidah yang selanjutnya menjadi pijakan kita dalam
membahas lebih lanjut konsep pemilu dalam pandangan politik Islam. Tentu saja
pertanyaan yang muncul dan harus dijawab kemudian adalah: apakah konsep pemilu
dapat dikategorikan sebagai satu dari aturan-aturan yang bersifat administratif
saja atau tidak?
B. Konsep
Pemilu dalam Islam
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah: apakah konsep pemilu dapat dikategorikan sebagai satu dari
aturan-aturan yang bersifat adminsitratif “belaka”? Atau dengan kata lain,
apakah Islam menetapkan aturan tertentu dalam proses pemegangan kekuasaan untuk
level yang tinggi seperti jabatan imam (baca: kepala negara), qadhi, dan
anggota majlis syura (parlemen)? Atau dalam hal ini tidak aturan tertentu yang
baku?
Jawaban untuk semua itu adalah bahwa tidak ada satu nash pun yang
menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah menetapkan aturan atau sistem tertentu
untuk mencapai puncak kekuasaan. Jika kita melihat kekuasaan yang ada sejak
masa awal Islam maksudnya sejak wafatnya Rasulullah saw, maka kita tidak
menemukan hal itu. Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses bai’at yang
disepakati oleh Ahl al-Sunnah bahwa bai’at itu terjadi dengan kesepakatan semua
sahabat dan bukan atas dasar nash tertentu. Karena itu tidak ada seorang
sahabat pun yang menggunakan nash dalam pengangkatan Abu Bakar r.a, tapi mereka
justru mengatakan: “Rasulullah saw telah rela mengangkatmu sebagai imam kami
dalam urusan agama kami (maksudnya shalat), lalu mengapa kami tidak rela
menjadikan engkau sebagai imam dalam urusan dunia kami?”
Lalu yang terjadi dari Abu Bakar kepada Umar bin al-Khatthab r.a adalah
proses istikhlaf atau penunjukan pengganti sesudahnya. Lalu kemudian hal yang
sama dinyatakan oleh Umar setelah ia terluka akibat tikaman Abu Lu’lu’ah
al-Majusi: “Jika aku melakukan istikhlaf, maka orang yang lebih baik dariku pun
maksudnya Abu Bakar- telah melakukannya. Dan jika aku tidak melakukannya, maka
orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya yaitu Rasulullah saw.”
Abu Bakar bin ‘Ayyasy (193 H) pernah ditanya oleh Khalifah Harun
al-Rasyid: “Bagaimana Abu Bakar r.a. diangkat menjadi khalifah?” Ia pun
menjawab: “Wahai Amirul mukminin! Allah dan Rasul-Nya telah mendiamkan hal itu,
dan kaum beriman pun mendiamkannya.” Harun al-Rasyid berkata: “Demi Allah! Anda
hanya membuat saya semakin tidak paham.” Abu Bakar bin ‘Ayyasy lalu mengatakan:
“Saat itu Rasulullah saw sakit selama 8 hari, lalu Bilal masuk menemui beliau,
lalu beliau berpesan padanya: ‘Perintahkanlah Abu Bakar unuk memimpin shalat!’
Maka ia pun memimpin shalat selama 8 hari, dan wahyu saat itu masih turun
kepada Nabi saw. Dan Nabi pun diam (tidak membicarakan soal pengangkatan Abu
Bakar setelah beliau) karena Allah pun tidak menyinggungnya. Dan kaum beriman
(baca: sahabat) pun mendiamkannya karena diamnya Rasulullah saw.”
Penjelasan tersebut sekali lagi menegaskan bahwa tidak ada nash yang
tegas dalam hal ini yang menjelaskan metode atau sistem peralihan atau
pencapaian sebuah tampuk kekuasaan dalam Islam. Apalagi sampai pada taraf
menentukan individu atau dinasti tertentu. Meskipun terdapat nash yang
menunjukkan bahwa para imam haruslah berasal dari Suku Quraisy, namun poin ini
memiliki cakupan yang begitu luas:
Quraisy adalah nama yang mencakup berbagai suku-suku Arab yang ada di
Mekkah, dan itu artinya ia lebih luas dari sekedar seorang individu atau
dinasti tertentu.
(1) Syarat
ini tentu juga harus didukung syarat lain, yaitu: jika sang Quraisy itu
memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
(2) Syarat
ini hanya terkait dengan al-Imamah al-‘Uzhma saja, bukan kekuasaan yang lainnya. Dan syarat ini akan
semakin terasa pentingnya bila kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang
mempunyai kapabilitas yang sama, lalu siapa yang akan ditunjuk? Poin
kequraisyian inilah yang menentukannya.
(3)
Dan jika demikian persoalannya, maka itu berarti bahwa
perkara ini tetap bersifat muthlaq dan tidak muqayyad. Artinya siapa yang
memiliki kemampuan maka dia berhak untuk menjabatnya. Tetapi intinya adalah
bahwa dalam hal ini Islam tidak memberikan satu ketetapan baku dalam proses
peralihan atau penguasaan tampuk kepemimpinan tertinggi di sebuah negara.
(4)
Konsep pemilu sendiri dalam bentuknya yang modern dapat
dikatakan sebagai konsep dan sistem yang umum digunakan di berbagai negara
Barat, yang dalam hal ini mayoritas menerapkan demokrasi sebagai the way of
life mereka dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep ini secara umum memiliki
karakter ideologis dan sistem administratif yang khas sebagaimana akan dijelaskan
berikut ini:
C. Karakter
Ideologis Pemilu Barat
Diantaranya
adalah:
1.
Penetapan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan
negara –sesuai dengan latar belakang ideologi mereka. Dan ini ada merupakan
tugas utama parlemen
2.
Menjauhkan agama apapun dari realitas kehidupan umum masyarakat
(politik, adminstrasi, ekonomi, peradaban, sosial, dan
lain sebagainya). Sehingga tidak mengherankan jika undang-undang yang
lahir murni bersifat duniawi belaka. Tidak ada pengaruh agama sedikit pun di
dalamnya, kecuali mungkin sekedar basi-basi untuk memberikan penghargaan agar
tidak dianggap melecehkannya
3. Hubungan
sosial-politik sepenuhnya dibangun atas dasar kebebasan individu. Dan ini
adalah prinsip demokrasi yang sangat dibanggakan oleh Demokrasi Barat, bahkan
mungkin tidak berlebihan untuk mengatakannya sebagai prinsip suci bagi mereka.
Meskipun prinsip dibatasi dengan “tidak menyebabkan kerugian bagi orang lain”,
namun dalam prakteknya ia benar-benar dibebaskan mengikuti nafsu dan keinginan
pemiliknya. Dan tentu saja, agama tidak diberi kekuasaan untuk menghakiminya.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa kebebasan semacam ini hanya
mengandung kemudharatan. Tentu saja ada beberapa sisi positif di dalamnya,
seperti:
Bahwa kebebasan semacam ini (seharusnya) memberikan kesempatan dan ruang
gerak yang sangat luas bagi yang ingin memperjuangkan kebenaran –terutama para
da’i-, dimana mereka dapat bekerja dan berfikir dengan tenang tanpa khawatir
mendapatkan tekanan atau apapun yang semacamnya.
Bahwa ia membangun sebuah hubungan yang penuh keterusterangan antara
penguasa dan rakyatnya, dimana rakyat diberi kesempatan untuk menyampaikan
pandangan mereka secara bebas.
D. Karakter
Teknis-Adminstratif Pemilu Barat
Diantaranya
adalah:
1. Keragaman
partai politik. Dan ini adalah karakter yang secara konsisten melekat pada
sistem demokrasi. Sehingga para para ahli ilmu politik pun menganggapnya
sebagai salah satu konsekwensi logis bagi sistem parlemen.
2.
Proses pemilihan, baik untuk kepemimpian tertinggi
ataupun anggota parlemen. Ini juga adalah karakter yang secara konsisten
melekat pada sistem ini. Karenanya pemerintahan hasil pemilihan kemudian
menjadi prinsip dasar yang tertanam kuat sebagai salah satu prinsip Demokrasi.
3.
Pemerintah terpilih akan memimpin dalam batas waktu
tertentu; 2, 3, 4 atau 5 tahun misalnya. Dengan berakhirnya masa tersebut, maka
berakhir pula kekuasaan pemerintah terpilih.
4.
Pemisahan 3 jenis kekuasaan: legislatif, judikatif dan
eksekutif. Ini juga dapat disebut sebagai salah satu prinsip asasi sistem
demokrasi yang diserukan Barat.
Dengan melihat ulang karakteristik tersebut baik yang bersifat ideologis
maupun adminstratif, maka nampak jelas bahwa karakteristik ideologis yang
disebutkan terdahulu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.
Karakter pertama misalnya –penetapan undang-undang- jelas bertentangan dan
bertabrakan dengan misi dan tujuan kenabian dan risalah yang diturunkan Allah
(samawiyah). Allah berfirman:
“Apakah
mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diinginkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari
Allah), tentulah mereka telah dibinasakan.” (Al-Syura: 21)
Karakter kedua juga demikian: memisahkan agama dari kehidupan sosial
masyarakat, sebab risalah Islam jelas diturunkan oleh Allah untuk menjadi
sistem dan aturan bagi setiap sisi dan aspek kehidupan manusia, karena ia
menetapkan bahwa seluruh bagian kehidupan adalah ibadah kepada Allah. Karenanya
ia tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan sehari-hari, bahkan
mengecam tindak pemisahan itu, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Nisa’ ayat
150-151.
Sedangkan karakter ketiga yaitu kebebasan, maka ini dapat bermakna dan
berdampak positif dan negatif sekaligus. Karenanya ia tidak bisa digunakan
secara mutlak, tetapi yang harus dilakukan adalah memberikan batasan terhadap
bentuk kebebasan yang sejalan dengan Syariat.
Adapun tiga karakter yang bersifat formatis: keragaman partai, pemilihan
umum, dan pemisahan 3 jenis kekuasaan, maka nampaknya ini dapat dikategorikan
sebagai sisi yang bersifat formalitas administratif yang mungkin dapat diambil
dan diadopsi sisi-sisi positifnya. Ini tidak ubahnya seperti sistem pendidikan
modern yang berlaku umum di seluruh dunia, dimana proses pendidikan berjalan
dengan sistem yang sulit untuk dihindari, seperti pembagian fase pendidikan
menjadi 3 tahap: dasar, menengah dan perguruan tinggi; dimana seorang pelajar
tidak bisa pindah ke tahap selanjutnya kecuali setelah menyelesaikan tahap
sebelumnya.
Metode semacam ini tidak pernah dikenal dengan segala rinciannya di
kalangan ulama kaum muslimin bahkan sampai sebelum satu abad ini. Dan itu tentu
saja tidak menjadi sebuah masalah untuk mengadopsi sisi positifnya, sebab jika
kita melihat sistem yang berlaku sepanjang sejarah politik Islam, kita akan
menemukan bahwa ada banyak hal yang berlaku pada masa awal Islam, namun
kemudian pada masa selanjutnya tidak lagi berlaku. Contoh yang paling sederhana
adalah konsep “negara”. Pada masa awal Islam, setidaknya sejak masa Khulafa’
al-Rasyidun hingga Khilafah Abbasiyah, yang dimaksud dengan “negara Islam”
adalah seluruh wilayah yang berada di bawah naungan dan jangkauan kekhilafahan
yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah. Akan tetapi batasan itu kini
tidak lagi berlaku sekarang, sebab komunitas kaum muslimin di setiap belahan
bumi harus “menyesuaikan diri” bahwa setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah,
mereka tidak lagi bernaung di bawah satu kekhilafahan. Sehingga akibatnya,
konsep “negara” pun menjadi semakin kecil cakupan dan jangkauannya dibanding
sebelumnya.
Jika kita telah sepakat bahwa keragaman partai, pemilihan dan pemisahan
tiga jenis kekuasaan adalah termasuk persoalan yang tidak lebih dari sekedar
persoalan teknis administratif, maka itu berarti penggunaannya sangat
bergantung pada prinsip “Jalb al-Mashlahah wa Dar’u al-Mafsadah” . Dan ini
adalah prinsip yang umum berlaku dalam hal-hal yang bersifat teknis
administratif semacam ini dalam sejarah politik Islam awal, terutama di masa
Khalifah Umar bin al-Khathab r.a.
Karena itu, nampak menjadi sangat dipaksakan jika kita berusaha
mencari-cari rincian dalil untuk membuktikan kesyar’iyan atau ketidaksyar’iyan
adanya keragaman partai, pemilihan umum atau pemisahan 3 jenis kekuasaan
tersebut. Dan siapa saja yang berusaha melakukan itu, maka argumentasi apapun
yang dikemukan akan tetap mengundang polemik karena dalil yang dikemukakan
tidak langsung menukik pada akar persoalan ini, sebab memang tidak ada nash
yang sharih untuk itu.
Itulah sebabnya, perlu ditegaskan pula bahwa ketika kita mengatakan bahwa
sistem pemilu adalah sebuah sistem yang bersifat teknis administratif dan kita
boleh mengadaptasinya dari pengalaman bangsa atau komunitas lain sama sekali
tidak bertentangan dengan Syariat Islam, maka itu tidak berarti bahwa serta
merta kita mengadopsi bulat-bulat apa yang mereka terapkan dalam sistem
tersebut. Sebab sudah pasti ada yang bermanfaat dan tidak dalam sistem ini.
Atau dalam bahasa lain, terdapat maslahat dan mafsadat di sana. Karena itu
sekali lagi muwazanah atau melakukan pertimbangan antara keduanya menjadi hal
mutlak yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya kita dapat memilih mana
yang sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, dan menolak yang mengandung
mafsadat. Dan dengan metode seperti inilah pada akhirnya kita berinteraksi
dengan semua ide dan pemikiran yang berasal dari luar Islam.
Salah satu poin yang mungkin diperbaiki dalam sistem pemilu tersebut
adalah membatasinya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kualitas
intelektualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti para ulama dan
akademisi. Mengapa? Karena sebenarnya sangat tidak logis dan mashlahat jika
pemilihan semacam ini diserahkan kepada semua orang (baca: rakyat) yang
kemudian memilih orang yang tidak mereka kenal atau bahkan tidak pernah mereka
dengar tentangnya. Itulah sebabnya orang bodoh, awam, pemilik pemikiran yang
menyimpang, dan yang semacamnya harus dijauhkan dari “misi” yang sangat penting
ini: pemilihan pemimpin negara.
Metode seperti ini jika ditelusuri mirip dengan sistem ahl al-hil wa
al-‘aqd yang kita kenal secara historis dalam Islam. Dan dalam aplikasi
kontemporernya, penunjukan atau pemilihan dewan atau majlis atau apapun namanya
ini diserahkan pada lembaga-lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan secara
intelektual, seperti perguruan tinggi, dewan ulama, organisasi-organisasi
keilmuan, dan yang semacamnya. Dan dewan atau majlis atau apapun namanya ini
tentu tidak dapat disamakan dengan Dewan Parlemen, sebab cakupannya jauh lebih
luas daripada Dewan Parlemen.
E. Nasib Politik Partai Islam
Ironi politik,
melihat fenomena partai Islam dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Bagaimana
tidak, sejarah politik memperlihatkan nasib partai Islam dalam perjalanan
demokrasi Indonesia melalui pemilu kurang menguntungkan. Dalam Pemilu 1955 dari
enam parpol Islam yang ikut berlaga yakni Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, dan
AKUI, akumulasi suara yang berhasil diperoleh 43,9 persen dari total suara sah.
Perolehan suara tersebut justru semakin kecil dalam pemilu-pemilu berikutnya.
Lihat saja pada Pemilu 1971 dengan empat partai Islam terkumpul 27,1 persen.
Demikian pun dalam era Orde Baru di mana PPP sebagai
satu-satunya partai Islam selama lima kali pemilu (1977, 1982, 1987, 1992,
1997) range suara tidak lebih dari 16-30 persen. Setali tiga uang dengan
pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 terkumpul 17,8 persen dari 16 parpol
Islam yang turut berpartisipasi, minus PKB dan PAN yang dalam konsep penulis
merupakan partai nasionalis meski berbasis umat Islam.
Dalam Pemilu 2004 lalu, nasib parpol Islam sedikit lebih
beruntung dengan 21,17 persen suara dari 5 parpol Islam yang ada. Hal ini tidak
lepas dari fenomena PKS dengan perolehan 7,34 persen setelah dalam Pemilu 1999
hanya mencapai 1,36 persen. Kalaupun diakumulasikan dengan PKB dan PAN
akumulasi suara ketujuh partai tersebut tidak lebih dari 40 persen.
Terhadap fakta politik di atas, tampaknya kita harus melihat
sejumlah penyebab buruknya nasib politik partai Islam. Hemat penulis ada
sejumlah penyebab mengapa partai islam gagal memperoleh dukungan mayoritas dari
pemilih.
Pertama, fragmentasi partai-partai dalam kekuatan-kekuatan
kecil. Banyaknya parpol Islam relatif kurang menguntungkan bagi konsolidasi
suara umat Islam. Suara umat Islam kemudian terpecah dalam partai Islam yang
secara kuantitatif relatif banyak terlebih dalam Pemilu 1999, namun secara
substantif partai-partai tersebut tidak jauh berbeda dengan mengusung Islam
sebagai ideologi.
Meskipun dalam era Orde Baru PPP merupakan satu-satunya
partai Islam akan tetapi pada saat yang sama politik pembangunan Orde Baru
telah berhasil merubah pola pikir umat Islam yang lebih mengedepankan substansi
dari sekadar simbolisme keislaman. Modernisasi orde baru juga berhasil
menciptakan intelektual muslim yang nampaknya cenderung berpikir sekuler
termasuk dalam ranah politik. Intelektual muslim inilah yang kemudian membawa
gerbong masa kearah liberalisasi pilihan politik umat Islam hingga saat ini.
Perubahan orientasi politik dari formalisme ke arah substansi
semakin ditunjang dengan kebijakan Orde Baru yang mengakomodasi kepentingan
umat Islam melalui pembangunan organisasi yang berperan sebagai kanalisasi
politik intelektual muslim semisal ICMI. Dari organisasi tersebut kemudian
kepentingan-kepentingan umat Islam dinilai mampu terakomodasi dengan mudah, terlebih
pada saat yang sama mampu berperan sebagai kendaraan politik dalam mencapai
jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Kedua, meminjam pendekatan antropologi politik Clifford
Geertz yang mengkategorikan priyayi, abangan, dan santri, umat Islam di Indonesia
nampaknya mayoritas merupakan Islam abangan. Adalah Islam secara sosiologis dan
statistik bukan Islam secara ideologis. Hal ini menjadikan estimasi elit
politik Islam bahwa secara otomatis umat Islam akan mendukung partainya kurang
relevan. Partai Islam bukan pilihan politik muslim abangan yang justru lebih
nyaman menjatuhkan pilihan politiknya kepada partai-partai nasionalis yang
mengusung Pancasila sebagai ideologi. Fakta ini nampak dari pemilih
partai-partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat, yang notabenenya
mayoritas adalah umat Islam.
Ketiga, dalam perkembangannya partai islam gagal memberikan
.warna pembeda. dengan parpol lainnya kecuali formalisme ideologi islam maupun
formalisme dalam bentuk .identitas. (bendera, baju, dan simbolsimbol lainnya).
Ideologi islam yang diformalkan oleh partai islam gagal dibumikan dalam bentuk
program dan kegiatan yang mampu menjadi pembeda yang cukup distingtif. Progam,
kegiatan, dan strategi partai Islam nyaris tidak ubahnya dengan partaipartai lainnya.
Perlahan namun pasti hal ini berhasil membangun pengetahuan politik pemilih
khusunya umat islam akan parpol islam yang miskin kreatifitas dalam membumikan
ideologi islamnya.
Di samping dalam ranah kebijakan program dan kegiatan partai,
ideologi Islam di mata publik nampaknya juga tidak berhasil ditonjolkan oleh
elit politik dari partai Islam. Harapan akan munculnya suri taulan dari elit
politik Islam yang berbeda dengan elit lainnya belum berhasil ditunjukkan.
Bahkan sialnya lagi, elit politik Islam terkadang menampakkan perilaku politik
yang tidak Islami. Sejumlah kasus korupsi, nepotisme, dan oligaraki elit dapat
dijadikan bukti akan persepsi tersebut.
Persepsi miring ini semakin diperparah dengan kekurang
dewasaan elit politik Islam dalam menyikapi perbedaan pandangan politik yang
terkadang menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Dalam
Pemilu 1999 misalnya, di Pekalongan dan Magelang di mana terjadi konflik fisik
antarpendukung parati Islam dengan partai Islam lainnya adalah satu contoh.
F. Tantangan
Partai Islam
Bagiamana kemudian nasib politik partai Islam dalam Pemilu
2009 nanti (what next). Secara kuantitatif ada 6 partai yang secara
formal menjadikan Islam sebagai ideologi yakni; PKS, PMB, PPP, PBB, PBR, dan
PKNU. Selanjutnya meski secara formal berideologi Pancasila, basis massa mereka
harus diakui berasal dari umat Islam dan memiliki keterikatan dengan ormas
Islam; PKB dan PAN misalnya.
Tampaknya tidak mudah bagi partai Islam dalam bersaing dengan
partai- partai nasionalis untuk keluar sebagai pemenang. Melihat partai-partai
nasionalis juga mulai sadar akan kekuatan umat Islam yang harus diakomodasi
setidaknya dengan menggandeng para intelektual muslim dalam struktur
kepartaian. Hal itu terlihat dari pelebaran sayap partai nasionalis dengan
membentuk sayap partai yang ditujukan untuk menarik simpati umat Islam. PDIP
misalnya dengan Baitul Muslimin Indonesia yang kemudian berhasil menarik
intelektual-intelektual. Jika tidak ada perubahan strategi dalam partai Islam
nampaknya nasib partai-partai tersebut tidak akan jauh beda dengan
pemilu-pemilu sebelumnya. Belajar dari Pemilu 2004, hasil penelitian Lembaga
Survey Indonesia memperlihatkan akan keberhasilan PKS bahwa keputusan politik
mayoritas pemilih untuk menjatuhkan pilihan politiknya pada PKS ternyata bukan
karena PKS sebagai partai Islam (18 persen responden) namun karena program dan
platform yang dimilikinya (53 persen responden). Karenanya pembumian ideologi Islam dalam platform, program dan
diderivasikan menjadi kegiatan merupakan kunci awal keberhasilan partai Islam
untuk menarik simpati politik dari pemilih khususnya pemilih dari kalangan
floating mass yang jumlahnya cukup signifikan. Pendekatan kepada floating mass
termasuk pemilih rasional membutuhkan lebih dari sekadar bahasa ayat suci,
namun program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar mereka. Berbeda
dengan pemilih Islam ideologis- tradisionalis yang selama ini juga menjadi
basis massa partai Islam. Pendekatan kepada floating mass diperlukan bagi upaya
partai Islam untuk melebarkan sayap basis massanya sehingga bisa meningkatkan
perolehan suara. Masa kampanye
hingga April 2009 nanti merupakan masa uji akan keseriusan partai Islam dalam
upaya pembumian ideologi tersebut. Jika berhasil peningkatan suara yang signifikan
menjadi buah dari keberhasilan tersebut. Sebaliknya jika dalam upaya pembumian
ini saja gagal, nasib yang sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya tidak mustahil
akan terulang. Bahkan mungkin lebih sial lagi, kehilangan suara dari basis
pemilih ideologis-tradisional dan gagal menggaet pemilih dari floating mass.
G. Hukum
Mencalonkan dan Dicalonkan Menjadi Anggota Parlemen dalam Sistem Demokrasi
Meskipun hukum asal pemilu untuk memilih wakil rakyat
(perwakilan) adalah mubah, namun demikian, seorang muslim tetap harus
memperhatikan syarat-syarat yang ada di dalamnya. Selama syarat-syaratnya sesuai dengan al-Quran dan
sunnah, maka absahlah aqad perwakilan tersebut. Sebaliknya, jika
syarat-syaratnya bertentangan dengan al-Quran dan sunnah, maka aqad perwakilan
itu batal.
Lantas, di dalam
konteks sistem pemerintahan demokratik, apakah seorang muslim diperbolehkan
mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain untuk menyuarakan aspirasi Islam
dan kaum muslim di dalam parlemen? Dengan kata lain, apakah seorang muslim
boleh menjadikan parlemen -dalam sistem demokratik-sebagai jalan untuk
mendakwahkan dan menyua-rakan aspirasi umat Islam? Jawabnya adalah sebagai
berikut:
Pada dasarnya,
ketika seorang telah menjalin aqad wakalah dengan orang lain sesuai
dengan syarat-syarat Islam, maka absahlah syarat tersebut. Bila si fulan
mewakilkan aspirasinya kepada fulan yang lain, maka sahlah aqad wakalah
tersebut.
Demikian juga
dalam pemilu saat ini. Seorang muslim boleh dicalonkan atau mencalonkan orang
lain untuk menyuarakan aspirasi. Bila perkara yang diwakalahkan adalah perkara
mubah, sedangkan rukun dan syarat sah wakalahnya telah dipenuhi, maka sahlah
aqad wakalah tersebut.
Namun,
persoalannya tidak berhenti hingga di sini saja, akan tetapi berlanjut pada
pertanyaan, “Apakah seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat
tersebut -ketika hendak memperjuangkan aspirasi dari orang yang
mewakilkan- menggunakan cara dan wasilah yang sesuai dengan syariat
Islam atau tidak? Dengan kata lain, apakah dalam memperjuangkan aspirasi
rakyat, wakil rakyat tersebut menggunakan cara-cara dan wasilah Islamiy ataukah
tidak? Lantas, apakah pemilu dan parlemen merupakan wasilah Islamiy atau tidak?
Dalam konteks
pemilu saat ini, seorang wakil rakyat harus menjadi anggota parlemen dan mengikuti
seluruh mekanisme parlemen tatkala hendak memperjuangkan aspirasi rakyat
melalui parlemen. Sebab, ketika seseorang hendak berjuang melalui parlemen
maka, orang tersebut harus berkecimpung dan terlibat di dalamnya. Tanpa
melibatkan dan berkecimpung di dalamnya, seseorang - yang berjuang via
parlemen- tidak mungkin bisa menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Padahal, parlemen dan seluruh mekanisme yang ada di dalamnya jelas-jelas
bertentangan dengan Islam. Dalam kondisi semacam ini, kita bisa menyatakan
dengan tegas bahwa, parlemen (dengan sistem seperti sekarang ini) bukanlah
wasilah syar’iy untuk memperjuangkan aspirasi Islam dan kaum muslim, Pasalnya,
mekanisme parlemen jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, seorang
muslim tetap tidak boleh mewakilkan suaranya kepada orang yang hendak
memperjuangkan aspirasi rakyat melalui wasilah yang tidak syar’iy (parlemen).
Dengan ungkapan lain, seorang muslim tidak boleh menjalin aqad wakalah dengan
scseorang yang menggunakan wasilah non-syar’iy untuk memperjuangkan
aspirasinya. Fakta
pertentangan parlemen asas dan mekanismenya dengan Islam terlihat dalam
perkara-perkara berikut ini:
Pertama,
asas yang digunakan pijakan untuk menetapkan undang-undang tidak merujuk kepada
‘aqidah dan syariat Islam, akan tetapi dibangun berdasarkan paham
demokrasi-sekulerisme. Pada dasamya, fungsi legislasi (penetapan hukum)
merupakan fungsi paling menonjol dari parlemen. Jika fungsi menetapkan hukum
ini masih berada di tangan wakil rakyat (anggota parlemen) sesuai dengan
prinsip demokrasi, vox populi, vox dei, maka kita bisa menyatakan
dengan tegas, bahwa keberadaan parlemen semacam ini jelas-jelas bertentangan
dengan aqidah dan syariat Islam, tanpa ada keraguan sedikitpun. Sebab, hak
untuk menetapkan hukum ada di tangan Allah Swt. semata, bukan di tangan rakyat
maupun wakil rakyat. Di sisi yang lain, keberadaan pemilu dan parlemen juga
ditujukan untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik sekuler. Sebab,
pemilu dan parlemen adalah mekanisme yang di desain untuk melakukan proses
pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik. Pembentukan pemerintahan dan
kekuasaan baru harus dilakukan melalui mekanisme pemilu dan parlemen. Atas
dasar itu, gagal atau tidaknya pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik
sangat ditentukan oleh gagal atau tidaknya pemilu dan parlemen. Jika pemilu
gagal atau digagalkan, maka pergantian kekuasaan tidak akan terjadi, alias
terputuslah mata rantai pergantian kekuasaan demokratik-sekuleristik. Akan
tetapi, jika mekanisme pemilu dan parlemen ini berjalan dengan normal, maka
secara otomatis proses pergantian kekuasaan akan terjadi secara sukses.
Dari sini kita
bisa menyatakan bahwa, jika kaum muslim mengikuti pemilu dan melibatkan diri di
dalamnya, maka secara tidak langsung, mereka juga turut andil dalam memuluskan
proses pergantian kekuasaan dalam sistem demokratik sekuler. Dengan ungkapan
lain, mereka juga turut andil dalam melahirkan dan melanggengkan sistem
pemerintahan demokratik sekuler. Sebaliknya, jika kaum muslim tidak melibatkan
diri dalam pemilu dan parlemen, maka ia telah berperan dalam menggagalkan
lahirnya pemerintahan dan kekuasaan demokratik sekuler. Artinya, ia telah berperan dalam menghentikan
keberlangsungan sistem pemerintahan demokratik sekuler yang bertentangan dengan
syariat Islam.
Kedua, mekanisme
pengambilan pendapat di dalam parlemen didasarkan pada prinsip-prinsip
pengambilan pendapat dalam sistem demokrasi, bukan Islam. Prinsip pengambiian pendapat yang paling menonjol
dalam sistem parlemen demokratik adalah suara mayoritas (voting). Padahal, pada
perkara-perkara tertentu, voting jelas-jelas melanggar prinsip dan syariat
Islam. Misalnya, untuk menetapkan status hukum zina, homo seks, dan lain
sebagainya, tidak boleh ditempuh dengan cara voting. Cara penetapan hukumnya
harus didasarkan pada prinsip ijtihad dan pendapat yang paling kuat (rajih).
Penetapan hukum pada perkara-perkara semacam ini tidak boleh dilakukan dengan
cara voting, akan tetapi dengan cara istinbath (menggali hukum dari
nash-nash al-Quran).
Ketiga, dari
sisi keanggotaan. Keberadaan orang-orang kafir di dalam parlemen yang tidak
dibatasi kewenangan dan kewajibannya, telah membuka peluang bagi orang kafir
untuk menguasai kaum muslim, Kasus di Nigeria membuktikan bahwa pemilu telah
membuka pintu lebar bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim. Seharusnya,
kewenangan dan hak orang-orang kafir di dalam parlemen harus dibatasi.
Dalam pandangan
Islam, orang-orang kafir tidak boleh memberikan aspirasi atau pendapat dalam
hal-hal yang menyangkut urusan? penetapan hukum dan pemerintahan. Mereka hanya
diperbolehkan menyampaikan laporan-laporan tentang penyimpangan atau kesalahan
dalam penerapan hukum, dan tidak diberi kewenangan untuk menyampaikan aspirasi
dalam perkara-perkara selain itu. Dengan kata lain, orang kafir hanya diberi
kewenangan untuk menyampaikan tindak penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa
Islam, baik dalam hal buruknya penerapan syariat Islam di suatu daerah, atau
kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa Islam. Selain perkara-perkara semacam ini, mereka
dilarang menyampaikan aspirasi maupun kritik.
Dari keseluruhan
penjelasan di atas, lantas, apakah seorang muslim tetap diperbolehkan melakukan
wakalah (dalam hal aspirasi) dengan seseorang yang akan memperjuangkan
aspirasinya melalui sebuah mekanisme yang jelas-jelas bathil, yakni parlemen?
Jawabannya adalah sebagai beriku:
Meskipun antara
rakyat dan calon wakil rakyat telah terjadi aqad wakalah dan sah, akan
tetapi selama wakil rakyat tersebut memperjuangkan aspirasi rakyat melalui jalan
yang diharamkan -parlemen dan pemilu- tentu akad wakalah itu menjadi
batal dan rusak, walaupun pada awalnya, akad wakalah tersebut ditujukan untuk
koreksi dan muhasabah. Sebab, syarat untuk duduk di dalam parlemen nyata-nyata bertentangan dengan
syarat-syarat Islam.
Melihat fakta dan
realitas parlemen dan pemilu sekarang ini, kita bisa menyimpulkan bahwa,
melibatkan diri dalam dua aktivitas tersebut adalah tindakan haram. Sebab,
untuk menjadi anggota parlemen, para wakil rakyat harus mengakui beberapa prinsip
yang bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka harus mengakui dan menerima asas
parlemen yang tidak berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, ada
syarat-syarat bathil yang harus diakui oleh siapa saja yang hendak menjadi
anggota parlemen.
Salah satu syarat
yang bertentangan dengan aqidah Islam adalah: setiap calon
wakil rakyat harus mengakui prinsip-prinsip sekuler sebagai asas dan dasar
negara. Syarat ini harus dipenuhi oleh siapa saja yang ingin menjadi anggota
parlemen. Padahal, pengakuan terhadap prinsip dasar sekuler ini jelas-jelas
merupakan tindakan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Syarat-syarat
tersebut tercantum dengan sangat jelas dalam undang-undang no. 23 tahun 2003,
yang mengatur tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dalam
undang-undang no. 23 tahun 2003 tentang Susunan & Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, pasal 20 disebutkan tentang sumpah yang harus diucapkan oleh anggota
DPR, DPRD (pasai 56] dan DPD [pasal 36]. Isi sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (tuhan) saya
bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota (ketua/wakil
ketua) Dewan Perwakihn Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa
saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan; bahwa saya akan
menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; bahwa
saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan
tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia.”
Pada pasal 29 juga
dinyatakan dengan sangat jelas bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban; (a)
melaksanakan Pancasila, (b) melaksanakan UUD 1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, dan seterusnya.
Fakta di atas
telah menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk duduk di dalam parlemen adalah
syarat-syarat bathil yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk
itu, seorang muslim wajib menolak syarat-syarat tersebut di atas. Dalam sebuah
riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Setiap syarat yang tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya, meskipun 100 syarat, adalah bathil.”
Jika syarat-syarat
keanggotaan parlemen saja sudah bathil, tentunya memilih calon anggota parlemen
pun menjadi tidak absah.
Alhasil, meskipun
dari sisi wakalah antara calon wakil rakyat dengan rakyat sudah sesuai dengan
prinsip Islam, akan tetapi dengan adanya syarat keanggotaan parlemen yang
bathil, telah mengubah status hukum wakalah yang mubah menjadi haram. Sebab,
wakil rakyat telah menggunakan wasilah yang tidak Islamiy untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat. Selain itu, mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen,
keanggotaan, dan tujuan-tujuannya bertentangan secara diawetral dengan
Islam. Keanggotaan seorang muslim di dalamnya tentu adalah sesuatu yang
diharamkan. Meskipun ia hanya mengambil satu fungsi saja, yaitu ?fungsi
kontrol dan koreksi. Untuk memberikan gambaran sederhana fakta dan hukum
mencalonkan dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demokratik dapat
diterangkan sebagai berikut: Fulan-1 telah mengikat akad wakalah dengan fulan-2
dalam perkara aspirasi, koreksi dan pendapat Islam. Fulan-1 sebagai wakil sedangkan
fulan-2 adalah muwakkil. Selanjutnya. keduanya mengucapkan sighat
taukil. Pada kasus ini, akad wakalah telah terselenggara dan sah menurut
syariat Islam. Sebab, syarat dan rukun wakalah telah terpenuhi. Selanjutnya,
fulan-1 (wakil) pergi ke KPU mendaftarkan diri sebagai calon anggota wakil
rakyat; atau bisa jadi, fulan-1 telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil
rakyat, kemudian baru berakad wakalah dengan fulan-2. Yang perlu dicermati
adalah, pada saat wakil (fulan-1) mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil
rakyat di KPU, dirinya harus mematuhi prinsip-prinsip dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh KPU. Selama syarat-syarat yang diajukan KPU tidak
bertentangan dengan Islam, maka secara hukum wakil (fulan-1) diperbolehkan
turut serta dan terlibat dalam parlemen dan pemilu. Akan tetapi, selama
syarat-syarat yang diajukan KPU tidak sesuai dengan syariat dan ‘aqidah Islam
-meskipun satu syarat- , maka wakil (fulan-1) diharamkan untuk meneruskan
menjadi calon wakil rakyat yang berkecimpung di dalam parlemen. Sebab,
syarat-syarat yang diajukan oleh KPU telah bertentangan dengan Islam.
Fakta saat ini
menunjukkan bahwa ada syarat yang diajukan oleh KPU yang bertentangan dengan
Islam. Di antaranya adalah,
para calon wakil rakyat harus mengakui asas tunggal dan kesetiaannya dengan
sistem sekuler. Pada kondisi semacam ini, maka calon wakil rakyat tidak mungkin
bisa berkecimpung di dalam pemilu dan parlemen, dikarenakan pada
langkah-langkah awal dirinya telah dicegat dengan syarat-syarat yang tidak
Islami.Jika syarat untuk menjadi wakil rakyat saja bathil, tentunya rakyat
tidak boleh mencalonkan atau dicalonkan menjadi wakil rakyat.
Seandainya
syarat-syarat menjadi anggota parlemen adalah sah, namun mekanisme pengambilan
pendapat, tugas, fungsi, hak dan kewenangannya bertentangan dengan Islam, maka
seorang muslim juga tidak boleh masuk dan menjadi anggota di dalamnya. Sebab,
seorang muslim tidak dibenarkan berkecimpung dan melibatkan diri dalam
aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan Syariat Islam atau tolong menolong
dalam hal kemaksiatan. Allah Swt. berfirman, artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu sekalian
dalam hal kebaikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam dosa dan
kemaksiatan.” [al-Maidah: 2]
Ayat ini dengan
sharih menyatakan bahwa bekerjasama dan tolong menolong dalam kebathilan
merupakan bagian dari kemaksiatan itu sendiri. Kompetisi yg diadakan mr
pogung terkait “Kampanye
Damai Pemilu Indonesia 2009“ tidak akan berjalan seperti
yang diharapkan oleh para kontestan. Menurut sumber seorang ahli di Indonesia.
kampanye damai pemilu indonesia
2009 mungkin, menjelang Pemilu Indonesia 2009, masih banyak
masyarakat yang belum paham bedanya mencontreng dengan mencoblos seperti pada
pemilu-pemilu yang telah lalu. Pemerintah lewat berbagai media sudah berusaha
mensosialisakan tata cara pencontrengan di Pemilu Indonesia 2009. Golput
yang beberapa waktu lalu difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai
sesuatu yang haram, ternyata banyak jenisnya. Ada Golput yang memang golput
Ideologis tapi jangan salah ada juga Golput Teknis dan Golput Politis. Masyarakat secara terus menerus perlu
disosialisasikan terkait tata cara pelaksanaan ‘pencontrengan’ bukan coblos
pada Pemilu legislatif pada 9 April 2009. Lembaga-lembaga komunikasi sosial,
KIP, Parpol dam media massa mempunyai tanggung jawab dalam mendukung pelaksanaan
sosialisasi sehingga nantinya berjalan dengan baik.
Sosialisasi pencontrengan tanda gambar pada kampanye damai pemilu indonesia
2009
untuk memberikan pengetahuan dan sekaligus mengajarkan kepada masyarakat
sehingga nantinya mengukir keberhasilan dalam pesta demokrasi di Indonesia.
Kini, persiapan Pemilu 2009 terutama dalam
sosialisasi ini terus gencar dilakukan, ini tidak lain kondisi masyarakat kita
yang masih mejemuk dengan tingkat kemampuan pemilih rasional yang masih timpang
dengan tingkat pendidikan belum merata.
Karenanya, dengan sisa waktu beberapa minggu lagi tidak ada
alasan untuk terus melakukan pendidikan/pencerahan politik terhadap pemilih.
Ini dimaksudkan untuk menghindari ancaman ‘golput’ baik individu maupun
kelompok yang sengaja atau tidak sengaja untuk tidak ikut dalam Pemilu nantinya. Golput karena ideologis, sering
terjadi pada Orde Baru Golput politis menyangkut pilihan yang hanya itu-itu
saja dan kurang menjanjikan. Golput teknis karena kekurangpahaman mencentang
atau contreng. Sekali lagi ingat
mencentang bukan mencoblos terus ciptakan kampanye damai pemilu indonesia 2009 seutuhnya.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, sesungguhnya ada satu poin penting yang ingin
ditegaskan oleh penulis, yaitu bahwa saat ini kita sebagai seorang muslim
dihadapkan pada dua hal yang penting untuk selalu dijadikan pertimbangan: (1)
bahwa kita harus berpegang teguh pada.
Syariat Allah, dan (2) disaat yang sama kenyataan masa kiwari yang juga
menuntut kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan segala perkembangannya.
Kedua hal ini jelas harus kita jalani dengan seimbang. Itulah sebabnya,
keteguhan kita pada Syariat Allah seharusnya tidak menghalangi kita untuk
beradaptasi dengan zaman manapun, sebab pada dasarnya Syariat Islam memberikan
kita ruang untuk itu. Ada hal-hal yang dapat “dilenturkan” –dan karena itu, ia
dapat berubah dari waktu ke waktu-, namun ada hal-hal yang tidak dapat
digoyahkan sedikit pun. Dan kasus pemilu serta sistem pemerintahannya lainnya
adalah contoh nyata yang menunjukkan pada kita kedua hal itu.
Pada akhirnya, yang paling kita butuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman
yang dalam dan bijak akan nilai-nilai Syariat Allah ini, agar kita dapat
mengejawantahkannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Rabb yang menurunkannya sebagai rahmat bagi alam semesta.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Musyarakah
fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah bin Ibrahim al-Thuraiqy.2009.
http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar